Sabtu, 12 September 2009

KEGELISAHAN INTELEKTUAL SEORANG FEMINIS DARI MAROKO
(Mengenal Hermeneutik Hadis Fatima Mernissi)
Oleh : Nur Mukhlish Z.

Pengantar
Kajian keagamaan yang bersifat historis-sosiologis, pada saat ini semakin banyak diminati. Pemahaman yang demikian ini amat logis, mengingat turunnya wahyu (al-Qur’an) juga mempunyai aspek historis-sosiologis (asbab an-nuzul). Islam yang bersumber pada wahyu merupakan nilai yang ideal harus dibedakan dengan Islam sebagai hasil pemahaman yang bersifat historis. Islam historis merupakan hasil dari pemahaman tersebut memunculkan beberapa problem yang salah satunya berkaitan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan atau isu gender. Feminisme adalah salah satu kata kunci untuk memahami kompleksitas problem tersebut.
Istilah femenisme berasal dari bahasa Latin (femina ; woman), yang berati “memiliki sifat wanita “. Kata ini dipergunakan untuk merujuk kepada suatu teori persamaan kelamin (sexual equality) laki-laki dan perempuan, dan pergerakan bagi hak-hak perempaun sebagai ganti istilah womenisme, yang lahir pada tahun 1890 M. Istilah feminisme tersebut untuk pertama kali dipergunakan pada tahun 1890 M., dan sejak itu istilah feminisme mulai dikenal secara luas. (Lihat Lisa Tuttle, Encyclopedia of Feminism,1986 :107).
Menuruat Valerie Bryson sebagai bangunan teoritis gerakan perempuan sudah sudah terjadi sejak abad peretengahan. Perempuan pertama yang menulis tentang hak-hak dan kewajiban seksualnya adalah Cristine de Pisan (Perancis, 1364-1430), yang pengaruhnya dapat dilacak pada perdebatan yang terjadi di Inggris akhir abad 17. Pada abad ini dikenal nama Apphra Benn (1640-1689) dan Mary Astell (1666-1731) sebagai feminis dan teoritisi feminisme sistematis yang pertama di Barat. (Lihat Syafiq Hasyim (red.), “Gerakan Perempuan dalam Islam …”, dalam Tashwirul Afkar , edisi 5, Jakarta : Lakpesdam NU, 1999 : 2-4).
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, bahwa feminisme mengandung arti “kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan di dalam masyarakat, di tempat kerja dan di dalam keluarga, serta suatu tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah kondisi tersebut”. Tindakan diskrimunasi berdasar jenis kelamin, dominasi laki-laki atas perempuan, pelaksanaan sistem patriarkhi dan ia melakukan tindakan untuk menentang, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai seorang feminis. (Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, 1994).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa gerakan feminisme adalah egalitarianisme, yang mau tidak mau berhadapan dengan agama yang bercorak patriarkhi. Menurut feminisme, paham patriarkhis agama inilah yang menantang baginya untuk melakukan perlawanan-perlawanan, karena pemahaman keagamaan tersebut sifatnya bukan harga mati dan final, yang tidak boleh diganggu –gugat. Corak patriarkhi agama bukan bersifat hakiki dari agama, tetapi produk struktur sosial dan budaya patriarkhi. (Ratna Megawangi, “Feminisme Menindas Peran Ibu Rumah Tangga”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, edisi khusus no. 5 & 6, vol. V, 1994: 30-41).
Dari sinilah kemudian muncul feminis-feminis Muslim, seperti Aisyah Taymuriyah, penulis dan penyair Mesir ; Zainab Fawwaz, esais Lebanon ; Rokaya Sakhawat Hosain dan Nazar Sajjad Haidar dari India, melalui cerita cerpen, novel dan artikelnya ; R.A. Kartini dari Jawa, Indonesia ; Emil Ruete dari Zanzibar ; Taj al-Salthanah dari Iran ; Huda Sya’rawi dan Nabawiyah Musa dari Mesir dan lain-lain., yang kemudian dalam tahun-tahun terakhir munculah nama Fatima Mernissi dari Maroko.

Sekilas Biografi Fatima Mernissi
Fatima Mernissi lahir di sebuah harem di kota Fez, Maroko bagian utara pada tahun 1940, dari keluarga kelas menengah. Dia mendapat pendidikan tingkat pertama dari seorang guru, yaitu Lalla Faqiha, di sekolah tradisional yang didirikan oleh kaum Nasionalis Maroko. Pada remaja, dia aktif mengikuti gerakan menentang imperalis Perancis. (Amal Rassam, “Mernissi, Fatima”, dalam John L Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, Vol. 2, Oxford :Oxford University Press, 1995 : 93)
Pada masa kecil, Mernissi memiliki hubungan yang ambivalen dengan al-Qur’an. Sekolah tradisional yang didirikan oleh kaum Nasionalis, mengajarkan al-Qur’an dengan sistem pelajaran yang keras. Hal ini sangat berbeda dengan pembelajaran yang diterima dari Lalla Yasmina, yang telah membuka pintu menuju sebuah agama yang puitis. Di sekolah al-Qur’an, jika salah melafalkan akan dikenai hukuman dan dibentak oleh sang guru, Lalla Faqiha yang mengatakan : “ al-Qur’an harus dibaca persis sama dengan ketika kitab ini diturunkan dari Surga. (Fatima Mernissi., Women and Islam : An Historical and Theological Enquiry, terj. Yaziar Radianti, Bandung : Pustaka, 1991 : 79-81)
Ketika masa remaja, dia menerima pelajaran tentang Sunnah di sekolah menengah. Sang guru mengajarkan kitab al-Bukhari yang didalamnya menyebutkan bahwa “Anjing, Keledai dan Wanita akan membatalkan shalat seseorang apabila melintas di depan mereka, menyela antara orang yang shalat dan kiblat”. Perasaannya terguncang dan bertanya-tanya, dan hampir tak pernah mengulanginya. Dia mengatakan : “Bagaimana mungkin Rasululllah mengatakan hadis itu, yang demikian melukai hati saya ? Bagaimana mungkin Muhammad yang terkasih telah melukai perasaan gadis cilik, yang saat pertumbuhannya berusaha menjadikannya pilar impian romantisnya ? (Fatima Mernissi : 82)
Ketika masa dewasa, kegelisahannya diawali dengan pertanyaaan kepada seorang pedagang sayur langganannya : “Bisakah jika seorang perempuan menjadi pemimpin kaum muslimin ? “ Dia (pedagang sayur) kemudian berseru : “ Nauzu billah min zalik dengan penuh rasa kaget”. Kemudian seorang guru yang belum saya kenal menyerang dengan mengatakan “suatu kaum yang menyerahakan urusan mereka kepada seorang wanita tidak akan memperoleh kemakmuran”. Mernissi tidak dapat mengucapkan apa-apa. Baginya dalam sejarah Islam, hadis bukan sesuatu yang sembarangan. Mernissi meninggalkan toko dengan diam, kalah dan marah. (Fatima Mernissi : 1-2)
Kemudian ia melanjutkan gaul intelektualnya di Universitas Muhammad V di Rabat, dengan mengambil program ilmu politik yang diselesaikan pada tahun 1965. Selanjutnya melanjutkan ke Paris, dan sempat bekerja sebagai wartawan pada tahun 1973. Dia meyelesaikan program doktornya dalam bidang sosiologi dari Universitas Brandeis. Dia kembali ke Maroko tahun 1974-1981, dan dia mengajar pada departemen sosilogi di Universitas Muhammad V, sekaligus dosen The Institut of Scientific Research, pada universitas yang sama. Selain itu, ia juga bertindak sebagai konsultan di United Nation Agencies, dan terlibat secara aktif dalam gerakan perempuan, serta sebagai anggota Pan Arab Woman Solidarity Association. (Amal Rassam, “Mernissi”, Oxford ... : 93)

Kerangka Metodologi
Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan. Menghindari hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politik dan kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduknya antara yang profan dan yang sakral, antara Allah dan kepala negara, antara al-Qur'an dan fantasi-fantasi imam harus didekonstruksi. (Fatima Mernissi; “Women and Muslim Paradise” dalam Equal Before Allah : 123)
Mernissi menggugat penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an seperti dalam surat al-Ahzab ayat 53, yang oleh para ulama dijadikan dasar lembaga hijab, dan hanya laki-laki yang boleh memasuki sektor publik, sedang perempuan hanya berperan domestik. Menurutnya penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya (Fatima Mernissi, The Veil and Male Elite,1997 : 107 – 130). Pemikrannya tersebut amat dipengaruhi pemikiran Qasim Amin, bahwa penutupan wajah dengan cadar dan pengucilan perempuan (hijab) dari masyarakat bukan merupakan sejarah Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi, karena tidak satupun dalam nash yang tegas menyebutkannya. (Mernissi, Woman …: 107).
Metode berfikir Mernissi nampaknya juga dipengaruhi oleh Muhammad al-Ghazali, yaitu dalam kaitannya dengan studi kritik hadis. Pengaruh tersebut nampak ketika memahami hadis misogenis tentang kepemimpinan perempuan, yang pemahamannya dikaitkan dengan Q.S. 23 : 23, yang bercerita tentang Ratu Saba. Dia berkesimpulan bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci yang bersumber dari Wahyu adalah lebih tinggi tingkatannya dari pada hadis yang hanya berupa pelaporan dari para sahabat yang dianggap mengetahui perbuatan dan perkataan yang bersumber dari Nabi. (Fatima Mernissi, Equal Before Allah : 204)
Mernisi berusaha membangun penafsiran dengan menghubungkan konteks sosialnya, baik berupa penafsiran ayat al-Qur’an, hadis-hadis misoginis yang dimuat dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim ataupun karya-karya lain seperti Tarikh al-Tabari,syarah Sahih al-Bukhari yaitu Fath al-Bari, al-Isabahfi Tamyiz as-Sahabah, Tabaqat al-Kubra karya ibn Sa’ad, Sirah karya ibn Hisyam dan lain-lain. (Mernissi, Woman …:17 – 25).
Dengan menganalisa terhadap proses penafsirannya, maka nampak jelas metode yang digunakan adalah historis-sosiologis ,dengan menggunakan analisa hermeneutik (yaitu : upaya menjelaskan dan menelusui pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca), atau lebih tepatnya menggunakan pendekatan hermeneutik hadis. Pendekatan hermeneutik digunakan untuk mengkritisi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis misogini (hadis yang secara literal mendiskreditkan perempuan). Dia mengungkapkan latar belakang historis terhadap hadis-hadis misogini berikut tentang kualitas perawinya untuk menemukan makna sesunguhnya dari teks tersebut. Menurutnya, komunitas Arab dan teks-teks yang tersusun telah mencerminkan budaya dominasi laki-laki atas perempuan, dan meletakkan perempuan sebagai inferior. Dengan dominasi tersebut, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif dari perspektif apa saja.

Kerangka Teori Fatima Mernissi
Pemikiran Mernissi dalam menggugat sistem patriarkhi, nampkanya dipengaruhi oleh budaya ketika belajar di Perancis. Dia sangat apresiatif terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan individu yang berkembang di Barat. Gerakan feminisme di Barat semakin menyadarkan betapa dominasi laki-laki, masih bertahan di dunia Arab. (Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi ..., Yogyakarta : LKiS, 1994 : 3 – 13).
Mernissi mengatakan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan itu setara. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan itu didasarkan atas nash. Dia menceritakan protesnya Ummu Salamah kepada Rasulullah, yang mengatakan: “Mengapa hanya pria yang disebutkan dalam al-Qur’an ?”, yang kemudian turunlah ayat yang berkaitan dengan kesetaraan seperti dalam al-Ahzab : 35, merupakan bukti bahwa konsep kesetaraan tersebut telah tersurat. (Mernissi, Women ….: 149-150).
Berdasarkan pendekatan historis-sosiologis yang digunakannya, latar belakang pendidikannya, serta analisa hermeneutik-nya, nampak bahwa dekonstruksi penafsiran terhadap teks, merupakan hal yang penting untuk merokonstruksi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Bias gender merupakan kata kunci yang dapat dipahami dari pemikiran Mernissi. Para penafsir teks, yang mempunyai kecenderungan misogenis, sebenarnya hanyalah merupakan produk pemikiran, dan bukanlah penafsiran yang bersifat final. Penafsiran terhadap teks, dalam kaitannya relasi antara laki-laki dan perempuan hanyalah merupakan persoalan gender. Persolan bias gender, meminjam istilahnya Peter L. Berger (Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis……: 396), merupakan sebuah konstruksi sosial, yang didasarkan pada kepentinagn tertentu, baik secara individu maupun dalam sistem masyarakat yang patriarkhi. Menurut Mernissi terjadinya ketidakadilan, diskriminasi, pengasingan dan domestikasi perempuan, sebenarnya telah diciptakan oleh struktur sosial yang patriarkhi, atau dengan kata lain bias gender telah dibentuk oleh masyarakat patriarkhi. (Lutfi Assyaukanie, “Tipologi …. “, dalam Jurnal Pemikiran … : 87). Marginalisasi perempuan ini, lebih tragis didukung oleh penafsiran para ulama yang konon mempunyai otoritas dalam penafsiran teks-teks agama.

Pemikiran-pemikiran Fatima Mernissi
Dalam memperjuangkan gagasannya tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan, Mernissi melakukan kritik terhadap hadis-hadis misogini dan beberapa ayat al-Qur'’n, yang menurutnya dalam tafsirnya menyimpang dari semangat diturunkannya wahyu tersebut. Diantara gagasannya adalah :
Kritik Hadis Misigini Tentang Kepemimpinan Perempuan
Al-Bukhari dalam kitab hadisnya menyebutkan, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang artinya :”Barang siapa menyerahkan urusan pada wanita, maka mereka tidak akan mendapat kemakmuran”. (Lihat Mernissi, The Veil…: 54. / Mernissi, Woman …, : 62 – 78). Abu Bakrah mengatakan bahwa hadis tersebut dikemukakan oleh Nabi Saw. ketika mengetahui orang-orang Persia mengangkat seorang wanita untuk menjadi pemimpin mereka. Kemudian Rasulullah bertanya : “Siapakah yang telah menggantikannya sebagai pemimmpin”. Jawab Abu Bakrah ; “Mereka menyerahkan kekuasaan kepada putrinya”. Lalu Rasulullah bersabda sebagaimana tersebut di atas. Berdasarkan hadis ini, menurut Mernissi, persolan mendasar yang perlu dipertanyakan adalah “mengapa hadis tersebut diungkapkan oleh Abu Bakrah, ketika Aisyah mengalami kekalahan pada Perang Jamal ?
Menurut Mernissi, bahwa Abu Bakrah mengemukakan hadis tersebut ketika menolak untuk ikut terlibat dalam perang saudara. Dalam hal ini, Ibn Hajar al-Asqalani menceritakan, ketika Abu Bakrah dihubungi oleh Aisyah, secara terbuka ia menyatakan sikap menentang fitnah. Abu Bakrah menjawab :“Adalah benar anda Umi kami, adalah benar anda memiliki atas kami, tetapi saya mendengar Rasulullah bersabda : … (seperti tersebut di atas).
Mernissi melakukan kritiknya terhadap Abu Bakrah dalam kaitannya meriwayatkan hadis tersebut, yaitu : (Lihat Mernissi, The Veil…: 54 dst)
Abu Bakrah semula adalah seorang budak yang kemudian dimerdekakan saat begabung dengan kaum muslimin. Oleh karena itu, ia sulit dilacak silsilahnya. Dalam tradisi kesukuan dan aristokrasi Arab, apabila seseorang tidak memiliki sislsilah yang jelas, maka secara sosial tidak diakui statusnya.
Abu Bakrah pernah dikenai hukuman qazaf , karena tidak dapat membuktikan atas tuduhan zinanya yang dilakukan oleh al-Mugirah ibn Syu’bah beserta saksi lainnya, pada masa khalifah Umar Ibn Khatab. Menurutnya, dengan menggunakan standar penerimaan hadis yang dikemukakan Imam Malik, diantaranya bukan termasuk pembohong, safih dan pernah melakukan bid’ah, maka periwayatan Abu Bakrah tidak dapat diterima.
Berdasarkan konteks historis, Abu Bakrah mengingat hadis tersebut ketika Aisyah mengalami kekakahan dalam Perang Jamal, ketika melawan Ali ibn Abi Thalib. Pada hal sikap awal yang diambil Abu Bakrah adalah bersikap netral. Lantas mengapa kemudian ia justru mengungkapkan hadis tersebut, yang seakan menyudutkan Aisyah.
Mernissi berkesimpulan bahwa meskipun hadis tersebut dimuat dalam Sahih al-Bukhari, namun masih diperdebatkan oleh para fuqaha. Menurutnya, hadis tersebut dijadikan argumentasi untuk menggusur kaum wanita dalam proses pengambilan keputusan. Namun al-Tabari meragukannya, dengan mengatakan tak cukup alasan untuk merampas kemampuan wanita dalam pengambilan keputusan dan tidak ada alasan untuk melakukan pembenaran atas pengucilan mereka dari kegiatan politik. (Mernissi, Woman … : 78).

Hadis Yang Diriwayatkan Oleh Abu Hurairah
Al-Bukhari meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Anjing, keledai dan wanita akan mematalkan shalat seseorang apabila ia melintas di depan mereka dan menyela dirinya antaraorang-orang yang shalat dengan kiblat”. (Mernissi, Woman … : 66).
Mernissi melakukan kritik terhadap sanad dan matan hadis ini dengan mendasarkan diri pada koreksi Aisyah kepada Abu Hurairah (Ayah Kucing Betina kecil). Nama pemberian Rasulullah ini tidak disenangi olehnya, dengan mengatakan : “Jangan panggil saya Abu Hurairah. Rasulullah menjuluki saya nama Abu Hirr (ayah kucing jantan), karena jantan lebih baik dari betina”. Abu Hurairah memiliki semacam kecemburuan berlebihan terkait dengan kucing betina dan kaum wanita. Hal inilah yang mendorong Rasulullah, kata Abu Hurairah, untuk mengatakan yang menjadikan kucing betina jauh lebih baih dari wanita.Akan tetapi, hal ini ditentang oleh Aisyah.
Dalam riwayat yang lain, bahwa suatu ketika Aisyah ditanya tentang tiga hal yang membawa bencana, yaitu rumah, wanita dan kuda, seperti diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Aisyah mengatakan bahwa Abu Hurairah itu mempelajari hadis ini secara buruk. Abu Hurairah memasuki rumah kami ketika Raslullah ditengan-tengah kalimatnya. Dia hanya sempat mendenga bagian terakhir dari kalimat. Rasul sebenarnya mengatakan : “semoga Allah membuktikan kasalahan kaum Yahudi ; mereka mengakan tiga hal yang membawa bencana, yaitu rumah, wanita dan kuda”. Tindakan Abu Hurairah juga sempat menjengkelkan Umar, ketika ditawari suatu pekerjaan dengan mengatakan bahwa dirinya orang yang terbaik. (Mernissi, Woman … : 91-96 dst.).
Berdasarkan argumentasi inilah Mernisi tidak dapat menerima hadis misogini ini. Dia berusaha menyingkap keraguan berkenaan dengan tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Abu Hurairah. Abu Hurairah memang banyak meriwayatkan hadis, namun banyak hadis yang diriwatakannya bernuansa misogini. Mernissi berusaha membongkarnya, walaupun hadis tersebut dimuat dalam ¬Sahih al-Bukhari.

Catatan Akhir
Mernissi telah berusaha membongkar bangunan penafsiran para ulama klasik, yang menurutnya menunjukkan dominasi patriarkhi. Penelitian yang dilakukan terhadap dua hadis di atas, bisa jadi meruapakan rintisan untuk membangun keilmuan dalam kaitanya dengan studi kritik hadis, atau yang lebih dekenal dengan kritik sanad dan matan hadis.
Berkaitan dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, sebenarnya lebih merupakan sebuah konstruksi sosial dari pada sebagai sebuah doktrin agama yang bersifat murni. Teks-teks agama yang dipandang otoritatif merupakan sebuah produk pemikiran para ulama, sehingga harus dilihatnya bukan sebagai hasil yang final dan tidak dapat diganggu gugat. Seandainya terdapat proses marjinalisasi peran perempuan atau domestikasi perempuan, sebenarnya merupakan hasil dari konstruksi sosial. Struktur sosialah yang telah menciptakan inferioritas perempuan. Apalagi, struktur sosial yang demikian ini telah dijustifikasi oleh para ulama yang mempunyai otoritas agama. Kemudian, produk pemikiran ulama tersebut diabadikan, disakralkan dan ditaruh di menara gading, yang seakan tidak boleh disentuh, apalagi digugat dan dibongkar penafsirannya. Hal inilah yang ditentangnya, menurutnya turas hanyalah salah satu usaha para ulama untuk melanggengkan otoritas penafsiran teks agama, terutama dalam kaitannya dengan dominasi laki-laki atas perempuan. Penafsiran yang mengandung bias gender, haruslah dicarikan dan ditemukan maknanya yang lebih sesuai dengan masa kontemporer, lebih bijaksana dan berkeadilan.
Produk pemikiran merupakan hasil pemahaman terhadap teks agama, termasuk pemikiran Fatima Mernissi dalam mengkritik hadis. Sikapnya yang bersemangat dalam mengkritisi hadis-hadis tentang misogini patut mendapatkan apresiasi. Sebuah produk pemikiran terkadang memang merupakan jawaban terhadap problematika yang dihadapi umat manusia, ketika pemahaman terhadap teks agama hanya lebih bersifat atomistis. Disamping itu, apapun bentuk produk pemikiran sebenarnya untuk memperkaya kazanah keilmuan keislaman dalam kaitannya tentang wacana feminisme, walaupun pemikirannya tidak terlepas menuai kritikan dari penulis lainnya, sebut saja Nur Khoirin dan Hidayat Nur Wahid. Akhirnya, kepada para penggiat discourse pemikiran Islam, beranikah melakukan loncatan-loncatan pemikiran dari paradigma dan produk pemikiran yang selama ini dianggap mapan dan final ??
Wa Allah A’lam bi al-Sawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar