Sabtu, 12 September 2009

101 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL INDONESIA;
IHTIYAR MENCARI SELUK BELUK INDONESIA
Oleh: M. Asrofi


20 Mei 1908 Dr. Soetomo mendirikan organisasi yang bernama Budi Utomo. Dan ini yang menandai bahwa perjuangan bangsa ini sudah mulai terorganisir dengan kekuatan persatuan dan kesatuan. Maka untuk itu saat ini setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Kata nasional berasal dari kata “Nation” yang berarti bangsa, dan setiap bangsa pasti mempunyai negara. Sedangkan pada saat itu Hindia Belanda belum mengenal istilah negara Indonesia, tapi mengapa sekarang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Aneh……sekali!!!!
Sekarang yang jadi pertanyaan adalah apa sih arti Indonesia?, Siapa sih penggagas istilah Indonesia?, dan sejak kapan sih orang pribumi Hindia Belanda mengenal serta memakai istilah Indonesia?. Tiga pertanyaan ini adalah pertanyaan misteri. Orang indonesia saja jarang yang tahu apalagi setan, karena setan bukan hidup di alam bumi persada Indonesia.
Dan untuk tiga pertanyaan ini tidak pernah diajarkan dalam sekolah-sekolah baik itu di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, bahkan sampai Perguruan Tinggi. Hal yang kecil dan sepele tetapi sering dilupakan orang dan jika ditanya siapa yang ingat pastilah jarang yang ingat atau mungkin bahkan tidak tahu sama sekali.
Ya, “ingatan” dan “lupa”. Dua entitas ini, menurut saya sifatnya berada bersama dan tiada bersama. Keberadaan yang satu (ingatan) adalah keberadaan yang satu (lupa) dan ketiadaan yang satu (ingatan) adalah ketiadaan yang satu (lupa).
Dengan kata lain, keberadaan “ingatan” tidak bisa lepas dari “lupa”. Di mana pun dan kapan pun ia (ingatan) berdiri, pasti tak jauh dari situ ada ‘lupa’ yang rupanya selalu siap melakukan teror. Namun tak dapat dipungkiri bahwa manusia dalam saat-saat tertentu tak mau mengerahkan “ingatan”-nya untuk mengingat beberapa hal dan kejadian. Mungkin meminjam istilah yang pernah dipakai oleh Milan Kundera, yakni semacam kehendak-melupakan.
Milan Kundera pernah menulisnya sebagai berikut, kehendak-melupakan adalah sesuatu yang antropologis: seseorang selalu mempunyai keinginan untuk menulis biografinya sendiri, mengubah masa lalu, menghapus jejak dirinya ma pun orang lain.
Mungkin seluk beluk Indonesia sesuatu yang memalukan, menjijikan, kuno, dan ngak gaul, sehingga bangsa ini ingin melupakanya. Makanya tidak pernah di ajarkan disekolah. Dari SD, SMP, SMA. Bahkan, sampai Perguruan Tinggi tidak pernah diajarkan tentang Indonesia.
Sudah beberapa kali memperingati Hari Kebangkitan Nasional tapi sayang, hanya sebagai ritual saja setelah itu lupa dan sampai jumpa tahun depan. 101 tahun Indonesia bangkit!!! Ini slogan atau beneran sulit dibedakan. Identitas bangsa sendiri saja tidak tahu, bagaimana mau maju!!!

Apa arti Indonesia???
Ketika dalam suatu forum diskusi yang dihadiri salah satu dosen Unibraw, Agus sunyoto.. Beliau bertanya kepada seluruh audiens. ”Apa arti Indonesia?”. Semua terdiam tak ada yang bisa menjawab. Aneh bin ajaib tapi nyata, semua merasa orang Indonesia tapi tak ada satupun orang Indonesia yang tahu tentang arti Indonesia. Begitu juga ketika salah satu dalam peserta dalam forum bertanya balik apa arti Indonesia???.
Mungkin negeri ini dulu kebingungan mencari nama. Kemudian negeri ini memakai nama Indonesia karena bertetangga dengan melanesia, polynesia, micronesia, atau mungkin juga karena negeri ini termasuk jalur pegunungan eurasia.
Karena istilah ”Indonesia” meminjam dari istilah Yunani. Sedangkan yang namanya meminjam, kan harus dikembalikan, lalu apa nama yang pas jika istilah ”Indonesia ” dikembalikan ke istilah Yunani???. Apa seperti dulu sebelum muncul istilah Indonesia negeri ini dikenal dengan Hindia-Belanda atau mungkin Nusantara. Tapi kayaknya ngak mungkin kalau pakai nama Nusantara karena berbau ke Jawa-jawaan, sedangkan wilayah negeri ini tidak hanya jawa tetapi ada Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, dan lain-lainya. Atau kita curi saja istilah Indonesia” jadi nanti kita tidak usah mengembalikan ke istilah Yunani, terus kita cari arti Indonesia biar jelas identitas negeri ini.

Siapa sih penggagas istilah Indonesia???
Pernakah anda bertanya siapa penggagas istilah Indonesia???. Sebelum Istilah “Indonesia” sekarang ini menjadi nama negara kita telah ada nama “NUSANTARA” pada zaman majapahit. Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Dulu, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai “Nan-hai” (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini “Dwipantara” (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta “dwipa” (pulau) dan “antara” (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke “Suwarnadwipa” (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.Bangsa Arab menyebut tanah air kita “Jaza’ir al-Jawi” (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah “benzoe”, berasal dari bahasa Arab “luban jawi” (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon “Styrax sumatrana”. Karena hanya tumbuh di sumatra. Kemudian menurut sumber lain juga dahulu orang-orang islam pergi haji.
Jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi” (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa).
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.
Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah “Nederlandsch-Indie” (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah “To-Indo” (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu “Insulinde”, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin “insula” berarti pulau). Tetapi rupanya nama “Insulinde” ini kurang populer dan kurang meluas.
Bagi orang Bandung, “Insulinde” mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari ”Jawadwipa” (Pulau Jawa). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Pada pertengahan abad XIX di Singapura muncul majalah tahunan Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan dari Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian salah seorang ahli etnologi Inggris Geoge Samuel Windsor Earl bergabung ke redaksi. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: "... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians".
Tetapi Earl lebih memilih malayunesia daripada Indunesia sebab istilah ini lebih tepat karena berada pada kepulauan melayu sedangkan kata Indunesia lebih tepat digunakan pada Sri Lanka (Ceylon) dan Maladewa (Maldives). Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Logon kebingungan untuk memberikan nama karena Indian Archipelago terlalu panjang sehingga Logon memutuskan untuk memakai Istilah Indunesia, tetapi tidak sama persis dengan mengganti huruf “u” dengan huruf “o” agar lebih mudah.
Pada akhir abad XIX seorang guru besar dari Universitas Berlin, Adolf bastian menerbitkan buku tentang penelitianya tentang Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Yang di situ menyebutkan istilah Indonesia sebagai pengganti Hindia Belanda yang sebenarnya kata Indonesia ini diambil dari bukunya Logon sehingga sempat muncul anggapan yang menciptakan istilah Indonesia adalah bastian. Karena buku bastian inilah yang mempopulerkan istilah Indonesia kepada mahasiswa dari Hindia Belanda yang belajar dinegeri kincir angin itu.

Kapan sih istilah ”Indonesia” ada di benak pribumi orang-orang Hindia-Belanda???
Nalikone jaman semono, negeri ini di kenal dengan Hindia-Belanda karena dikuasai oleh kerajaan Belanda. Hasanudin dari Makasar, pangeran Antasari dari Kalimantan, pangeran Diponegoro dari Jawa, I Ketut Jelantik dari Bali, kemudian Tuanku imam Bonjol dari Sumatra, apalagi kapitan Pattimura dari Maluku yang hidupnya ditengah hutan, mereka dalam perjuanganya tidak pernah menyebut kata-kata ”Indonesia”. Tapi aneh bin ajaib juga mereka dikenal dengan Pahlawan Nasional Indonesia.
Jika kita merenungkan lagi para pahlawan yang selalu bertindak secara berdaulat dan dengan penuh semangat yang gigih mereka mempunyai cita-cita yang universal, sama, dan satu tujuan. Mereka berjuang untuk mewujudkan kebebasan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Yang pada saat itu dirampas dan diinjak-injak oleh Belanda. Dan saya selalu optimis pasti selalu ada generasi muda yang selalu melanjutkan perlawanan terhadap para perampas kebebasan dan penindas kemanusiaan.
Pada abad ke XVI semangat kedatangan bangsa asing di Nusantara telah meluluh lantahkan negeri berbudaya ini. Yang disertai semangat Gold, Glory, dan Gospel, dan memegang teguh Imprealisme. Baru pada akhir abad XIX pasca revolusi industri di Eropa muncul gagasan dari kerajaan Belanda untuk meningkatkan pendidikan di negeri jajahanya yang dikenal dengan politik etis. Gubernur Jendral J.C Boud mengusulkan didirikanya lembaga pendidikan. Maka terbentukalah Kweekshcolen (sekolah guru pribumi). Yang pada tahap selanjutnya berdiri 20 sekolah rakyat. Tetapi yang boleh sekolah masih anak bangsawan. Kurang lebih 20 tahun kemudian didirikan Hoofden Scholen (Sekolah pangrah projo). Satu persatu orang pribumi mulai mengenal sekolah.
Pada awal abad XIX dibuka perguruan tinggi untuk pribumi di Belanda. Pada awalnya 5 orang menjadi mahasiswa. Selanjutnya setelah beberapa tahun disusul 23 orang pribumi yang menempuh pendidikan di Belanda. Mereka membentuk Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) yang bertujuan memperbaikai dan meningkatkan kepentingan bersama dan memelihara hubungan dengan Hindia-Belanda. Inilah yang memunculkan semangat patriotisme dan nasionalisme di mana mahasiswa pribumi dari daerah yang berbeda-beda menyatakan berorganisasi demi cita-cita dan cara mencapainya dengan kebersamaan dan satu kesepahaman.
Sementara di Hindia-Belanda juga muncul organisasi-organisasi terpelajar dengan cita-cita yang sama dan tujuan yang sama seperti Budi Utomo, Syarekat Islam, Perhimpunan Teosofi, dan lain-lainya. Pada tanggal 14 April 1917 terjadi pertemuan antara organisasi di Hindia-Belanda dan organisasi orang Hindia di Belanda, tempatnya di Hotel Paulez, Den Haag. R.M.A. Soerjo Poetro selaku anggota tetap Indische Vereniging selalu menyebut kata ”Indonesie”. Dan ”Indonesier” (orang Indonesia). Kata ”Indonesie” dan ”Indonesier”. Pada tahap selanjutnya kata ”Indonesie” berkembang di antara mahasiswa Hindia dan majalah Hindia Poetra selalu menggunakan kosa kata ”Indonesie” dan ”Indonesier”.
Indische Vereniging yang semula organisasi mahasiswa berubah menjadi organisasi politik yang akhirnya berubah nama menjadi Indonesie Vereniging. Setelah itu sebutan untuk orang-orang pribumi bukan Hindia-Belanda tetapi Indonesier. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar